Kedudukan Wayang Sapuleger dalam Seni Pertunjukan
Upacara di Bali
4.1.1 Sekilas Tentang Istilah Pewayangan di Bali
Wayang kulit Sebagai sebuah
karya seni klasik, termasuk
karya seni yang bermutu tinggi dan
hidup terus sepanjang
zaman.
Kata Wayang artinya “bayang-bayang atau bayangan”. Oleh karena variasi fonem awal /w/ dan /b/ seperti yang
terdapat pada
“Wayang dan bayangan”. Pada bahasa-bahasa nusantara kita dapati juga pada
kata “wesi” dan
“besi”, “wintang dan bintang” (Monograii Bali,1976:111). Gusti Bagus
Sugriwa (1971:1)
mengatakan “pewayangan” asal katanya “Wayang” yang artinya
sama dengan bayang-bayang,
mendapat awalan pa- dan akhiran -an yang mengandung pengertian perihal dan
seluk-beluk wayang
terutama
diantaranya pertunjukan wayang yang dibuat dengan kulit
sapi dipahat, ditatah, yang merupakan bentuk-bentuk khayalan, dewa-dewa, raksasa
binatang pohon-pohonan dan sebagainya. Dilihat oleh penonton adalah bayangannya
semua
ini disebut “pewayangan”.
Wayang juga
berarti : 1)
bayangan
: Wayangan-bayangan, 2) Pertunjukan
Wayang
‘’mewayang’’ memainkan (Pertunjukan) wayang; Pewayangan
Pe(r)wayangan
atau pertunjukan wayang (Mardiwarsito,1990:670).
Wayang dapat juga berarti :
1) Wayang;
ngwayang
memainkan wayang; mapawayangan (bhs.
Bali alus) menjelma (Warna dkk,1991:795). Selain itu
kata wayang di Bali sering juga disebut ringgit dan dalam
konteks ilmu astronomi (wariga)
khususnya dalam perhitungan pawukon
menurut kalender
Bali kata Wayang juga disebut sebagai nama wuku
yang ke-27 dari 30 wuku.
Menurut perhitungan hari raya keagamaan di Bali, pada hari Sabtu
(Saniscara) keliwon, wuku wayang disebut tumpek ringgil atau tumpek
wayang. Pada hari itu para
dalang mengadakan upacara
penghormatan terhadap wayang atau istilah Bali weton wayang. Iambat laun kata wayang menjadi nama suatu
pertunjukan bayang-bayang, dan kemudian menjadi nama atau istilah bagi suatu cabang seni
pertunjukan misalnya: orang berbicara tentang wayang topeng, Wayang golek,
wayang beber, Wayang wong, semuanya itu tidak ada hubungannya dengan bayang-bayang
atau bayangan (Hari Yanto,1981;10). Menurut James Brandon, seorang ahli teater
dari USA. Memberi tafsiran
wayang sebagai
berikut wayang
literally means “shadow " althougth to day it has come to mean a dramatic performance a play, shadow, whether the actor be puppets or human beings (Wayang
secara
harafiah berarti
“bayangan” meskipun untuk sekarang ia (Wayang) dapat berarti
sebuah pertunjukan
drama, sebuah permainan,
sesosok bayangan, yang ditokohi baik oleh aktor-aktor yang berupa
boneka maupun orang (Bandem,1972:6). Pendapat
yang senada juga
dikemukakan oleh Miquel Covarrubias (1972:236) “the shadow plays-a
performance by marionettes (wayang) that cast there shadows on a screen and are
manipulated by a mystic story teller, the dalang “(permainan Wayang kulit adalah sebuah pertunjukan dengan
para pelakunya adalah Wayang pada sebuah layar atau kelir dan mereka digerakkan
oleh tukang cerita yang memiliki kekuatan batin yang disebut dalang).
Berbagai pengertian wayang
telah dikemukakan di atas, namun
pada zaman sekarang
pengertian wayang yang mengacu
pada arti bayangan atau bayang-bayang telah “bergeser”.
Demikian juga jika kita amati penonton sebuah penunjukan wayang kenyataannya banyak
yang menonton dari belakang, sehingga yang disaksikan bukan bayangannya tetapi
wayangnya secara langsung. Mungkin bayangan itu sendiri dapat diberi makna secara lebih
luas dalam hubungannya dengan “makrokosmos dan mikrokosmos” atau bhuwana
agung dan bhuwana alit yaitu dalam hubungan dengan alam makro adalah apa yang
digambarkan dalam pertunjukan wayang adalah bayangan dari kehidupan alam ini, sedangkan
dalam hubungannya dengan alam mikro (manusia) menggabarkan sifat-sifat manusia itu
sendiri (Duija,1995:3).
4.1.2
Sejarah Seni Pewayangan di Bali
J.L.A
Brandes mengatakan sesungguhnya jauh sebelum masuknya agama Hindu ke
Nusantara, para leluhur kita telah memiliki 10 unsur
kebudayaan asli.
Kesepuluh unsur
kebudayaan itu adalah: 1)
Wayang, 2) gamelan, 3) ilmu irama sajak, 4) membatik, 5) mengerjakan
logam, 6) sistem mata uang, 7) ilmu pelayaran, 8) astronomi, 9) bercocok tanam,
10) birokrasi pemerintahan yang teratur (Rata 1996:85)
Berdasarkan pendapat Brandes
tersebut dapat diperkirakan bahwa “kebudayaan wayang” di Indonesia telah berkembang
sejak zaman prasejarah. Catatan yang paling tua yang menyebutkan adanya pertujukan
wayang di Jawa Tengah terdapat dalam prasasti Jaha yang berangka 840 M, pertunjukan
wayang pada waktu itu disebut dengan “aringgit” (Monografi Bali, 1976:112). = “ringgit”
= “ringgi” bahasa Jawa Kuno artinya gerak, “haringgit” artinya permainan
wayang. Kemudian pada zaman Raja Dyah Balitung ada batu
bertulis yang
menyebutkan kata “mawayang” yang berarti pertunjukan
wayang. Batu bertulis ini berangka
tahun 907 M, Bagaimana dengan perkembangan wayang di Bali, menurut prasasti
tertua yang menyebutkan adanya pertunjukan wayang di Bali terdapat pada prasasti
Bebetin AI
berangka tahun 818 caka
atau 896 M, baris 5: ....
pande
mas, pande besi,
pande tembaga, pemukul (tukang gamelan), pagending (biduan), perpadaha (tukang kendang,
pabangsi (juru
rebab), patapukan
(topeng), parbwayang (wayang), prasasti ini dibuat pada
zaman pemerintahan Ugrasena (Goris,1954:54). Pada prasasti Tengkulak A tahun caka 945 yang
menyebut nama Raja Sri Dharmawangsawardhana
Marakatha Pangkajastanottunggadewa.
Pada baris 7A.5. ada disebutkan kata .... pirus
ménménatapukan abanwal aringgita....dst. Artinya
pemain badut, sandiwara, topeng, dagelan,
wayang. Kemudian pada prasasti
Blantih/Sangsil A. Tahun caka
980 yang menyebut
nama raja Anak Wungsu, pada bagian Vb ada disebutkan:...hana banwa, atapukan,
aringgit, pirusménmén...
dst, artinya
ada pemain dagelan, pemain
topeng, wayang,
badut, pemain sandiwara. Masih dalam pemerintahan Anak Wungsu pada prasasti
Manikliu AII. Pada bagian III A.4 disebutkan .... y an atapukan abanwal, aringgit...dst, artinya
kalau pemain topeng, pelawak, wayang. Kemudian Pada
prasasti Manikliu BII tanpa tahun pada bagian Iib.6 ada disebutkanu. yan
atapukan, abanwal,
aringgit. Artinya kalau pemain topeng, pelawak, wayang (Sedyawati dkk,1977:149-163).
Dr. Van
Callenfels, dalam buku Efigraphia
Balica I bagian Vbl-Vb2,
menyebutkan bahwa, berdasarkan turunan dari Prasasti Gurun Pai Desa Pandak
Badung yang
antara lain berbunyi :...“yan
amukul (juru tabuh), sinuling (suling), atapukan (topeng),
abanwol (banyol), pirus (badut),
menmen (tontonan), aringgil (Wayang), prasasti
ini dibuat pada zaman pemerintahan
raja Anak Wungsu tahun Caka 993 atau 1045 M (Callenfels, 1926:17, Wayan
Simpen, l974:3).
Pada
Prasasti Sawan A II = Bila II, berangka tahun Caka 995 yang menyebutkan nama raja
Anak Wungsu, pada bagian Vb.5. ada disebutkan ....._ awayang atalitalyanjuran
I haji ku
2 pawehnya. Artinya Pemain wayang (wayang orang), “tali-tali bangjuran”
istana supaya diberi 2 ku (Op. cit, 1977:169-170).
Berdasarkan
beberapa prasasti di atas, maka sementara dapat diduga bahwa pertunjukan
wayang di Bali telah ada sejak abad ke - 8 akhir atau abad
ke - 9 awal.
Sedangkan Brandes dan Van Der Tuuk menyimpulkan berdasarkan kalimat
“hanabanwal atapukan
aringgit” yang terdapat pada sebuah prasasti tembaga yang ditemukan di Bali, bahwa di
Bali sudah ada pertunjukan
wayang pada tahun 980
Caka atau 1085 M
(Haryanto, l99l:l0). Perkiraan adanya wayang berdasarkan prasasti dapat
kita telusuri secara
pasti, namun sampai di sini kita belum mendapat gambaran mengenai bentuk, sumber
lakon, dan fungsi dari pertunjukan wayang itu sendiri.
4.1.3 Jenis-Jenis Wayang di Bali
Wayang Bali
secara garis besar dapat dikelompokan menjadi dua golongan yaitu :
1. Wayang
Sakral (sacred shadow play)
2.
Wayang Profan (secural shadow play)
l. Wayang
Sakral (sacred shadow play) dapat dibedakan berdasarkan sumber lakon
menjadi:
a. Wayang Sapuleger :
sumber lakon dari cerita “Sapuleger atau dari karya sastra gegurilan
Sapuleger”. Cerita ini merupakan cerita ruwat untuk orang
yang lahir pada wuku wayang.
b. Wayang lemah :
sumber lakonya dikutip dan kitab Mahabrata Ramayana Mitologi dan
kitab atau kakawin Jawa Kuno yang lainnya.
c. Wayang
Sudamala :
sumber lakonya dikutip dari
Kidung Sudamala atau hampir
sama dengan lakon pada Wayang Lemah atau wayang gedod
2. Wayang
Profan (seculer shadow play) terdiri dari :
a. Wayang
Parwa : sumber
lakonya diambil dari Epos Mahabrata atau yang biasa disebut
Astadasa Parwa (1 8 pam/a)
b. Wayang
Ramayana
: sumber lakonya diambil dari Kitab atau kakawin Ramayana. Di
Bali wayang ini dikena\ dengan nama wayang “ngrameyana”.
c. Wayang
Calonarang : sumber lakonya diambil dari
cerita/kitab Calonarang yang
sangat populer di Jawa Timur dan di Bali menjadi cerita horor yang
berkaitan dengan ilmu hitam (black magic).
d. Wayang
Gambuh : sumber
lakonya diambil dari celita Panji Bali yaitu kitab Kidung Mala!
(Malai Rasmi).
e. Wayang
Arja : sumber
lakonya sama dengan wayang gambuh,
oleh karena Arja
itu sendiri merupakan bentuk pengembangan dari tarian
gambuh. Di
samping mengambil lakon Panji
wayang arja juga mementaskan lakon yang diambil dari cerita cina
yaitu Shan Phiek Ing Thai
dan juga mengambil
dari khazanahj kesusastraan Bali seperti gegurigan tamtam.
f- Wayang
Tantri : sumber
lakonya diambil dari kitab kidung Tantri atau
tantri
kamandaka yaitu
yang menceritakan
perihal kehidupan
binatang yang berlaku seperti manusia
g. Wayang
Cupak :
sumber lakonya diambil dari cerita rakyat Bali yaitu berjudul “Cupak
Granlang”.
h. Wayang
Sasak :
sumber lakonya diambil dari serat menak dengan bahasa sasak/Bali.
wayang ini merupakan pengaruh dari Lombok Barat dan di Bali berkembang di daerah sekitar Karangasem.
i. Wayang
Wong :
sumber lakonya diambil dari Mahabrata dan Ramayana dan wayang ini
satu-satunya jenis wayang yang tidak menggunakan boneka kulit (skin puppets), tetapi aktor manusia. Wayang ini
sangat langka keberadaannya di Bali, hanya di daerah sekitar Singaraja dan beberapa daerah lainnya
di Bali dan sudah jarang di pentaskan (Duija,l996:5;Wicaksana,2000;127)
4.2 Fungsi Pertunjukan Wayang Sapuleger Dalam Ruwatan
yang dalam Masyarakat Bali disebut Nyapuleger.
Keberadaan
wayang (kulit) pada masyarakat Bali, tidak terlepas dari
kehidupan sosial
budaya dan keagamaan yang dianut oleh masyarakat Bali. semenjak datangnya pengaruh
agama Hindu, makin mengukuhkan keberadaan Wayang itu sendiri yang dikaitkan
dengan sistem upacar keagamaan. Di samping itu kehadiran dua epos besar Mahabrata
dan Ramayana memperkaya lakon-lakon pewayangan di Bali. Pada golongan
masyarakat Bali seperti itu, wayang (kulit) diyakini memiliki
arti dan makna :
(1) sebagai
penggugah rasa keindahan dan kesenangan, (2) sebagai
pemberian hiburan, (3) sebagai media komunikasi, (4) sebagai Pefsembahan simbolis,
(5) sebagai penyelenggaraan keserasian norma-norma masyarakat, (6) Sebagai pengukuhan
institusi sosial dan keagamaan, (7) sebagai koritribusi terhadap kelangsungan dan
stabilitas kebudayaan dan (8) sebagai pencipta integritas masyarakat
(Bandem,1993:171).
Setiap orang
dalam masyarakat di Bali memiliki alasan-alasan yang berbeda untuk nanggap wayang atau ngupah wayang
(Bahasa Bali) . hal ini
telah dibuktikan oleh H. I. R. Hinzler dalam penelitian yang berjudul Bina
Swarga In Balinese
Wayang. Menurut Hinzler alasan-alasan orang Bali mengadakan pertunjukan wayang sebagai
berikut : (1) Vow (sesangi = kaul) ini biasanya pada saat
otonan
atau weton
atau dewa yadnya, (2) request (tetagihan = permintaan) khususnya untuk bayi berumur tiga
bulan, kelahiran pertama atau pada saat ngaben, (3) custom in desa or Fami1y (adat= kebiasaan) ada
hubungannya dengan upacara yadnya,
(4) desire (demen-demen = kesenangan
saja), (5) obligation (kewajiban) misalnya ngruwat atau ngwatekin orang lahir
Pada wuku
wayang (1981 :20-22).
Menurut I
Gusti Bagus Sugriwa, untuk umat Hindu (Bali) pewayangan itu memiliki 2
fungsi yaitu :
1. Untuk
menyertai pelaksanaan upacara agama, yakni : manusa yajna (korban suci kepada
manusia), Pitra
yajna (korban suci kepada leluhur), Bhuta yajna (korban Suci kepada
bhuta kala atau mahluk yang lebih
rendah), dan Dewa yajna
(korban
suci kepada
Tuhan) atau disebut Catur
yajna.
2. Untuk
pertunjukan biasa, untuk bersenang-senang dan nasihat-nasihat(1976:13)- Lebih lanjut
I Gusti Bagus Sugriwa menjelaskan bahwa, pertunjukkan Wayang dalam
kaitannya dalam upacara keagamaan dapat dirinci lagi menjadi
2 :
a. Pada
Manusa Yajna diadakan pertunjukan wayang pada waktu umur anak 3 bulan atau hari
lahir (0tonan).
Lakon-lakon yang dipentaskan diambil dari Mahabrata atau Ramayana
seperti : lahir Panca
Pendawa, lahirnya Sutasoma,
lahirnya Rama
Laksana dan sebagainya. Untuk upacara perkawinan biasanya mengambil lakon Swayembara
Drupadi, Arjunawiwaha,
Kresnayana, Ramayana dan sebagainya. Jika anak lahir wuku wayang, maka upacara pertunjukan wayang
ini dinamai “sapuleger”
dengan lakon yang khusus yakni “sapuleger” juga yang berfungsi
untuk membersihkan
(ngruwal) seseorang dari kekotoran bathin.
b. Pada Pitra Yajna
diadakan pertunjukan wayang pada waktu` pembakaran jenazah. Pertunjukan
ini dilakukan pada malam hari. Lakon yang diambil disesuaikan dengan penyucian
roh untuk dapat mencapai moksa, seperti misalnya lakon ; Cudamala, Bima swarga.
Untuk upacara setelah ngaben yang disebut memukur (yaitu upacara peralihan
dari Pitra Yajna ke Dewa Yajna), apabila diadakan pertunjukan
wayang, maka pertunjukannya
diadakan pada siang hari (lemah Iawan kata peteng = malam), sehingga dikenal
dengan istilah wayang lemah. Pertunjukan wayang ini tidak memakai layar
(kelir), tetapi hanya menggunakan benang yang direntangkan pada cabang pohon
dap-dap yang dipancangkan pada pohon pisang (gedebong) di ujung kiri dan ujung
kanan. Lakon yang diambil misalnya Dewa ruci.
c. Dewa Yajna adalah
persembahyangan kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa).
Persembahyangan ini dilakukan di sanggah, merajan, pura dan sebagainya.
Pelaksanaanya sama dengan wayang pada Pitra Yajna di atas, yakni pada waktu
siang hari. Lakon yang diambil misalnya ; Smaradhana, Samudramanthana.
`d. Bhuta Yajna yaitu
upacara pembersihan alam semesta, biasanya pada upacara-upacara besar seperti ;
Ekadasa-rudra, Pancawali-krama, Tawur Agung. Di samping itu diadakan pula pada
saat upacara yang kecil, baik di lingkungan rumah tangga maupun di lingkungan
desa. Pertunjukan pada waktu siang hari.
Di samping dalam
kaitan dengan upacara agama, pertunjukan wayang juga untuk semata-mata sebagai
hiburan rohani (1976:13-20). Biasanya. pertunjukan wayang seperti ini dikaitkan
dengan hari-hari tertentu seperti ulang tahun Karang Taruna, hari besar Nasional
dan sebagainya.
Di samping I Gusti
Bagus Sugriwa, yang membahas fungsi pewayangan di Bali H. I. R. Hiniler juga
memperkuat pendapat I Gusti Bagus Sugriwa. Menurut Hinzler, (1981:25-28)
pertunjukan wayang dalam kaitanya dengan upacara keagamaan adalah sebagai
berikut :
(1)
Manusa Yajna (Offering of Human)
(2) Pitra Yajna (Offering of ancestors spirit)
(3) Dewa Yajna (Offering of god)
(4) Bhuta Yaj na (Offering of soft creature or “Bhutakala”)
(5) Rsi Yajna (0ffering of religion teacher)
(6) Upacara yang lain (Other Ceremonies)
sistem keagamaan
secara tidak langsung sebagai pengikat kelangsungan hidup wayang itu sendiri.
Antara agama dengan wayang saling menunjang dalam aktivitasnya. Wayang juga
dapat digunakan sebagai media untuk mengajarkan nilai-nilai fisafat keagamaan
kepada masyarakat pendukungnya.
4.2.1
Mpu Dalang (puppeteer) sebagai Perantara dalam Upacara Ruwatan
Dalang (puppeleer) menurut Hinzler ada tiga
macam yaitu ; (a) Dalang karena keturunan, (2) Dalang karena permohonan desa
atau lewat perantara dan (3) Dalang karena kemauan sendiri (1981 141). Pada
umumnya jenis Dalang yang pertama dan ketiga lebih dominan dalam tradisi pedalangan
di Bali. seorang Dalang adalan orang yang telah ditasbih (didiksa), sehingga
berhak menyelesaikan suatu rangkaian upacara keagamaan di Bali seperti nglukat
dan sebagainya oleh karena itu beliau bergelar Mpu dalang atau mangku dalang. I
Made Bandem mengatakan seorang dalang sebelum boleh melaksanakan pementasan, ia
diwajibkan untuk menyucikan diri baik secara lahir maupun bathin dengan cara
yang disebut “mawinten”. Upacara ini dilakukan dihadapan masyarakat dan
biasanya dilaksanakan di sebuah pura kahyangan tiga yang berada di desa dimana
dalang itu dilahirkan (1993:172). Dalang
juga melakukan upacara “masakapan” (pernikahan) dengan wayang dan semua
perlengkapannya yang dapat menumbuhkan jiwa kesatuan antara dalang dengan
wayangnya ltulah sebabnya pertunjukan wayang dianggap pertunjukan “Utameng
Lungguh” atau mempunyai kedudukan tertinggi/terhormat (dalam Rota,I996:57).
Menurut Lontar Dharma Pawayangan yaitu sebuah lontar yang berisi tentang
aturan-aturan bagi seorang dalang khususnya di Bali, menyebutkan syarat-syarat
menjadi seorang dalang yaitu :
1. Menguasai “Dharma
pawayangan” secara benar dan mantap
2. Menguasai cerita
dan lakon untuk menyusun plot atau alur
3. Pandai bercerita;
menguasai bahasa Kawi dan bahasa Bali untuk menyusun dialog dan menolog
4. Mampu memberikan
perwatakan wayang melalui dialog, menyuslun suara yang tepat pada masing-masing
tokoh
5. Pandai membuat
“tetikesan” atau sikap wayang (gerak tarian)
6. Menguasai musik
iringan dan lagu-lagu penwayangan
7. Seorang dalang juga
harus mampu memainkan tabuh gamelan
8. Mampu
“mekakawin”/melapalkan bait-bait tertentu
9. Mampu memainkan
“capala" yang baik sebagai ritme
10. Menguasai ilmu
kebathinan untuk menangkal kekuatan magis
ll. Mampu membuat
dinamika dalam pertunjukan wayang, seperti sedih, gembira, lucu, horor dan
sebagainya. Dengan demikian seorang dalang akan mampu menghidupkan peran-peran
yang terdapat dalam pertunjukan (Sugriwa, 1976:39; Bandem, 1993:172).
Seorang dalang tidak
hanya cukup dalam pengusaan teknis, tetapi yang paling penting adalah telah
menguasai secara lahir-bathin dharma pewayangan itu sendiri. Untuk memperjelas
uraian ini kita lihat kutipan berikut :
"Ah
ah Amangku dalang, dadi kita angringgit, siapa kita nugraha ?, weruh kita ring
Dharma pewayangan? Yan tan kita weruh, ku tadah kita mangke!
“Singgih Pauka Bhatara
Kala, nimitani hulun wani angringgit, sakeng panugrahan I Sang Hyang lcwara.
Weruh hulun ring Dharma pewayangan (I Gde Soerya, 1941 ;7).
Artinya:
“Hai .. Mangku Dalang,
jadi kamu berani mempertunjukan wayang, siapa yang memberi restu (nugraha), apakah kamu tahu tentang
Dharma-pewayangan ? jika kamu tidak tahu sekarang kamu akan saya makan.
“Ampun Paduka Bhatara
Kala, yang menyebabkan hamba berani mempertunjukan wayang, oleh karena restu
(nugraha), Sang Hyang Icwara dan hamba paham yang namanya Dharma-pawayangan.
Jika kita simak
percakapan di atas, maka seorang Dalang tidak hanya dituntut berhasil memuaskan
selera penonton, tetapi yang lebih penting adalah hubungan bathin kepada Tuhan,
agar apa yang dilakukan mangku Dalang memiliki “Taksu” (inner power). “Taksu”
itu sendiri dijelaskan sebagai sesuatu daya yang merupakan anugrah dari alam adikodrati
(Sedyawati, 1994;11). Dharma-pawayanagan itu sendiri lebih cenderung dikatakan
sebagai pengetahuan yang bersifat spiritual (niskala), dibandingkan pengetahuan
material (skala).
4.2.2
Pertunjukan Wayang dan Perlengkapannya
Wayang kulit Bali
memerlukan waktu antara 3 atau 5 jam dalam sebuah pertunjukan. Waktu pertunjukan
adalah malam hari, kecuali wayang lemah yang dipentaskan pada siang hari (lemah
Bhs. Bali artinya slang hari). Adapun perlengkapan yang diperlukan untuk sebuah
pertunjnkan wayang kulit Bali adalah sebagai berikut :
1. Gedebong (banana
tree) pohon pisang yang tua memanjang
2. Lelujuh (Long wood)
kayu untuk membentangkan kelir
3. Blencong (oil lamp)
lampu sumbu minyak kelapa
4. Tali Kelir (screen
of string) untuk mengencangkan kelir
5. Dua orang
kelengkong (asisten of puppeteer) Asisten dalang kanan-kiri
6. Empat orang juru
gender atau pemain gamelan (wayang parwa)
7. Dalang (puppeteer)
mangku dalang yang memainkan wayang
8. Kotak wayang
(woodem box) kotak tempat menyimpan wayang
9. Wayang (puppets)
satu kotak terdiri dari 150-175 buah wayang
10. Kelir (screen)
layar yang berukuran 1.75 X 2,5 meter
11. Racik (nail of
bamboo) paku dari bambu yang diruncingkan
12. Sesajen (offering)
banten wayang
13. sound system or
(loud speaker) pengeras suara
14. Panggung (stage)
tidak harus
4.3 Makna Wayang
Sapuleger Berkaitan dengan Ajaran Agama Hindu
4.3.1 Makna Simbolik
dari Pertunjukan Wayang Kulit di Bali
“Wayang bukan saja
sekedar hiburan, tetapi juga merupakan karya seni yang mengandung fisafat yang
dalam seperti yang diungkapkan oleh Mangkunogoro VII sebagai berikut : Bahwa
peperangan antara ksatria putih (berdarah putih) dengan raksasa dari berbagai
macam warna, pada hakikatnya bukan merupakan peperangan antara mahluk-mahluk
dengan segala keaktlannya, tetapi merupakan peperangan di dalam bathin (hati)
manusia itu sendiri, antara perasaan yang baik atau suci dengan yang bururk,
yang selalu mengganggu kesadaran manusia, Suatu peperangan yang merupakan
dinamika dari kehidupan manusia yang menimbulkan keindahan yang luar biasa
(1957 :11).
Menurut “Dharma
Pawayangan” yang dikutip dari lakon “Sapuleger” oleh I Gede Soerya tahun 1941
dan dikumpulkan oleh Gedong Kertiya Singaraja.
Adapun perlengkapan pertunjukan wayang kulit itu memiliki makana
simbolik sebagai berikut :
a.
Gedebong
(pohon pisang) sebagai simbol “Siti.Pertiwi (tanah)
b.
Kelir
(layar) sebagai simbol kekosongan (sunya = sunyi)
c.
Blencong
(lampu sumbu) sebagai simbol matahari (bhuwana agung) atau alam semesta,
Jiwatma (roh) manusia atau bhuwana alit.
d.
Sanan
Kropak yang diikat di atas kelir sebagai simbol langii
e.
Kropak
Wayang sebagai simbol alam semesta atau Bhuwana Agung
f.
Lelujuh
sebagai simbol tulang
g.
Racik
sebagai simbol jeriji
h.
Sarwa
Tali sebagai simbol otot/urat
i.
Dalang
sebagai simbol Tuhan Yang Maha Kuasa
j.
Wayang
sebagai simbol mahluk Tuhan (Bhuwana Agung), nafsu pada manusia (Bhuwana Alit)
k.
Gender
sebagai simbol irama zaman (Bhuwana Agung) suara sukma pada manusia (Bhuwana
Alit)
l.
Empat
juru gender sebagai simbol saudara empat yakni :
1. Anggapati - Yeh nyom (air ketuban) ada pada nafsu
2. Mrajapati - Darah merah sebagai penunggu
perapatan/kuburan
3. Banaspati -ari-ari ada di hutan, sungai, batu
besar
4. Banaspati Raja ~ Klamad (lapisan kulit bayi yang
tipis ada pada pohon yang
m.
besar.
Itulah yang disebut saudara empat atau kanda pai sebagai benteng diri pada si
Dalang itu sendiri
n.
Dua
orang Ketengkong sebagai simbol akasa (bapak) dan bumi (ibu).
4.3.2
Makna Filsafat Kiwa-Tengen dalam Wayang Bali
Kita mengetahui bahwa wayang-Wayang
dalam pertunjukannya dikeluarkan ke kelir sebagai pelaku cerita dipancangkan
bertimpi-timpi di kanan-kiri kelir. Yang dipancangkan di sebelah kiri adalah
golongan Kurawa dan Raksasa dan yang dipancangkan di sebelah kanan adalah
golongan Pandawa, Dwarawati, Pancala dari Dewa-dewa. Yang keluar dari kiri
adalah para Kurawa, dan yang keluar dari kanan adalah para Pandawa sedangkan
para Dewa-dewa keluar dari bagian kanan atas.
Secara filosofis dalam kebudayaan
Bali dikenal dengan istilah “pengiwa-penengen” atau kiri-kanan, atau dharma-adharma,
dewa-asura dan sebagainya. Yang kanan termasuk ‘penengen” (tengen=kanan)
memiliki semangat, karakter kebathinan putih (white magic) menaruh sifat-sifat
dharma (kebenaran) percaya pada Tuhan, berperikemanusiaan, setia, jujur dan
adil serta pelindung kebenaran. Sedangkan yang kiri termasuk ‘'pengiwa” (kiwa =
kiri), mempunyai semangat, karakter atau spirit kawicesan hitam (black magic),
bersifat adharma (jelek), atheis, kejam, bengis, pemarah, pengacau kadilan dan
kebenaran. Sedangkan yang keluar dari atas kanan adalah sebagai penengah, seimbang
tidak cenderung ke kanan dan tidak cenderung ke kiri (Sugriwa, 1971 :224).
Dua kekuatan hitam-putih (black
and white magic) yang Secara umum disebut dengan “rwa-bhineda” yaitu dua sifat
yang berbeda yang selalu kontradiksi tetapi tidak pernah akan hilang salah
satunya dan menjadi satu dalam kehidupan manusiai Ada laki-perempuan,
siang-malam, baik-buruk dan sebagaianya. ‘
I Wayan Karji mengatakan konsep
“kiwa-lengen” dalam budaya Bali menyatakan; pengiwa berasal dari kata kiwa (kiri)
yang mengandung arti buruk, kasar. Sedangkan tengen (kanan) berarti kebaikan,
halus dan semacamnya. Konsep ini mengacu pada prinsip bipolar (dua kutub) yang
disebut rwa-bhineda; setiap hal memiliki sisi baik-buruk, positif-negatif.
Gambaran visual tentang ajaran ini nampak pada kain poleng yang sering terampir
pada patung-patung di Bali (1993:13). Yang dimaksud kain poleng di Sini adalah
kain kotak-kotak hitam putih, bukan merah-putih atau warna lainnya. Putih sebagai
simbol kesucian, kebajikan sedangkan hitam sebagai simbol kekotoran, kejahatan
4.3.3
Nilai Estetika Gender (Musik) Wayang Bali
Pada umumnya Wayang
kulit Bali menggunakan iringan musik gamelan berupa “gender” yang memiliki nada
selendro. Setiap pertunjukan Wayang umumnya terdiri dari empat buah “gender”, 2
buah gender “pengumbang" dan 2 buah gender “pengisep”. Namun pada beberapa
jenis wayang yang lain mempunyai kekhususan seperti : Wayang Ramayana
menggunakan 4 buah "gender", 2 buah kendang lanang-wadon, sebuah cengceng,
kelenang, kajar, kempur dun suling. Wayang Gambuh menggunakan gamelan ; suling
besar, kendang, rehab, cengceng, kajar, kelenang, kempur. Wayang Calonarang menggunakan
gamelan ; 4 buah gender, dua buah kendang, cengceng, kelenang dan kempur.
Gending-gending yang
umum digunakan dalam pewayangan di Bali adalah :
a. Pemungkah yaitu
tabuh gender waktu mulai membuka “gedog”, tutup “gedog” ditebah-tebah dengan
tapak tangan si dalang 3 kali.
b. Paguneman pada
waktu para tokoh Wayang mengadakan musyawarah
c. Pamahbah pada saat
ini Ki dalang tidak menyanyi tapi mengucapkan kata-kata yang isinya mohon ijin
kepada Tuhan
d. Tampak Silir pada
saat Ki dalang mengucapkan kalimat-kalimat dalam rangka persiapan musyawarah
dengan bahasa Kawi
e. Babaluran selesai
nyanyian tampak silir Ki dalang mengucapkan wayang musyawarah yang isinya apa
maksud diadakan musyawarah
f. Angkalan setelah
selesai musyawarah para tokoh Wayang berangkat melaksanakan tugas
masing-masing. Tabuh ini terdiri dari :
1.
Cakra
gelar, lebah sepasar, abhimanyu, sekarginotan untuk goiongan kanan yang bemata
segitiga.
2.
srikandi,
Bima Krodha untuk golongan kanan yang bermata bulat dan golongan kurawa.
3.
Patra
rubuh untuk golongan raksasa.
4.
Lor-loran
untuk mengeluarkan wayang wanita ksatria.
5.
Tunjang
untuk durgha dan kalika.
6.
Mesem
untuk tetangisan.
7.
Batel
untuk perang.
8.
Rundah untuk musyawarah kedua.
9.
Pamempen
untuk memasukan wayang ke dalam peti.
10.
Penganteb.
4.3.4
Lakon Dalam Pementasan Wayang Lemah/Sapuleger
Lakon yang digunakan
sesuai dengan upacara yang dilaksanakan misalnya upacara Dewa Yadnya mengambil
lakon Mandara Giri atau Samudra Mantra dan Semara Dhana, upacara Pitra
Yadnya-mengambil lakon Bima Swarga dan Sudamala, upacara Rsi Yadnya mengambil
lakon Sapta Rsi, sedangkan upacara Bhuta Yadnya menggunakan lakon Bima Dadi
Caru (wawancara tanggal 11 Mei 2001).
Lakon yang akan
dibahas adalah lakoni Sapuleger karena berkaitan dengan penelitian ini.
Dikisahkan setelah Batara Ciwa mempunyai dua orang anak yakni Batara Kala dan
Betara Kumara, keduanya lahir dalam wuku wayang. Batara Kala telah mendapat
perintah dari Dewa Siwa untuk melahap setiap orang yang lahir pada wuku Wayang
(tumpek wayang). Akhimya adiknya yang bernama Kumara lahir pada wuku wayang,
sehingga serta merta Betara Kala ingin memangsanya, tetapi Siwa selalu punya akal,
sampai akhimya karena merasa jengkel dengan Dewa Siwa, Betara Kala mengejar adiknya
sampai kemana pun Kumara lari. Sampailah pada sebuah pementasan Wayang, dimana
si dalang sedang memainkan wayang ketika Kumara bersembunyi di dalam pelawah
gender wayang, sambil menunggu adiknya muncul Betara Kala secara tidak sengaja
menyantap sesajen si Dalang. Berdasarkan hal tersebut, si dalang bertanya kepada
betara Kala seraya mohon sesajen yang dimakan oleh Betara kala di ganti, saat itulah
Betara Kala memberi panugrahan kepada si dalang kelak kalau ada yang lahir pada wuku Wayang, si dalang berhak meruwat si bayi
dan sebagai gantinya Batara kala tidak akan memangsa si bayi asalkan disajikan
sesajen seperti yang dialkukan oleh si dalang saat itu. Sejak inilah selalu
dilakukan upacara ngwatekin bagi bayi yang lahir pada wuku wayang atau tumpek
wayang (wawancara dengan dalang). Di samping itu mitosnya menurut versi dalang
Ida Made Rai Sogata, adalah demikian: “Sanghyang Kumar Yang lahir dalam minggu
Wayang, dianggap pantas oleh Betara Kala untuk dimangsa sesuai dengan ijin yang
diberikan oleh Siwa. Padahal Kumara dan Kala sebenamya bersaudara, karena
keduanya adalah putra Siwa. Pada suatu siang. Kala sudah hampir berhasil menangkap
Kumara ketika tiba-tiba Siwa dan Dewi Uma muncul berwujud sepasang petani yang
sedang menunggangi lembu. Mengetahui apa yang sedang diperbuat oleh putranya,
Kala, maka Siwa mencari akal dengan mengajaknya bemiain teka-teki.
Sementara itu Kumara
berusaha menyelamatkan diri dengan berlari masuk ke sebuah pekarangan orang
yang kebetulan sedang mengadakan pertunjukan wayang; kemudian ia bersembunyi
dengan cara masuk ke dalam lubang resonator gamelan gender wayang itu. Setelah
menyadari bahwa Kumara lenyap, Kala dengan penuh amarah pergi mencarinya
kembali; walaupun berhasil ke pekarangan tempat diadakannya peltunjukan wayang
itu, tetapi ia tidak berhasil menemukan yang dicarinya.
Akhimya, karena rasa
marah dan lapar yang tak tertahankan maka disantaplah semua sesajen yang sedang
digelar berkaitan dengan pertunjukan wayang itu. Lalu sebagai reaksi ki Dalang
(sebenamya tidak lain dari Siwa sendiri) dia memberitahu Kala bahwa sesajen
yang telah disantap itu adalan sama nilainya dengan daging Kumara yang dikejar-kejar
itu, maka dari itu kala tidak berhak lagi utuuk memangsa Kumara, adiknya sendiri.
Dengan demikian selamatlah Kumara dari Kala” (Ramseyer,
1977:209-214).
4.3.5 Nilai Seni dan Nilai Agama Hindu
Seni adalah
merupakan penciptaan dari segala macam bentuk atau benda yang karena keindahan
bentukuya/suaranya, orang akan senang melihat atau mendengarnya (Musium
Bali,l979:1). Orang yang menghasilkan karya seni disebut seniman. Gaya yang
nampak pada ciptaan Seorang seniman berhubungan erat dengan dunia kebudayaan
yang berkembang dalam lingkungan hidupnya dan seni mampu berkembang dengan baik
jika seorang seniman mampu memenuhi kepuasan bathin penikmat seni. Mutu seni
dapat menggambarkan taraf kehidupan suatu bangsa dan melalui seni dapat
diketahui keperibadian bangsa. `
Fungsi kesenian
sebagai alat komunikasi adalah memperkuat keyakinan, nilai-nilai, norma-norma
yang membawa masyarakat kesuatu kemungkinan untukberkomunikasi dengan hakekat
tertinggi secara lebih tenang dan tepat (daeng, 1992:198).
Nilai-nilai yang
terkandung dalam seni pertunjukan di Bali adalah nilai agama, nilai logika,
nilai estetika dan nilai etika (Atmaja, 1988:25). Nilai-nilai ini diolah oleh para
pencipta seni pertunjukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Bali dibidang upacara,
seperti misalnya pementasan Wayang Sapuleger bersifat religius, magis, dan spiritual.
Seni merupakan
pengungkapan cita, rasa dan karsa manusia sehinggamenimbulkan rasa indah,
senang dan kagum. Seorang seniman mempunyai kemampuan untuk menarik perhatian
orang lain dengan mempergunakan keahliannya dibidang seni. Kreativitas
masyarakat Bali dibidang seni tidak dapat dipisahkan dengan kebudayaan. yang
bernafaskan agama, karena untuk memuja Tuhan didominasi oleh seni. Seni direalisasikan
dalam pelaksanaan agama pada umumnya bersifat religius sebagai penunjang
semangat keagamaan yang dapat mendorong pikiran ke arah keindahan, ketenangan
dan akhimya menuju pada kesucian.
Estetika berasal dari
bahasa Yunani yaitu kata “Aesthetis'’ yang berarti perasaan atau sensitivitas.
Keindahan sangat erat hubungannya dengan selera dan perasaan, akan tetapi saat
ini diartikan sebagai segala pemikiran filosofis tentang “seni” (Wadjiz Anwar, 1980:9).
Aktivitas estetis
masyarakat Bali pada mulanya berfungsi untuk memenuhikebutuhannya dalam upaya
memelihara keserasian hubungan antara manusia dengan Tuhannya, manusia dengan
lingkungan hidupnya, dam manusia dengan sesamanya sehingga terwujud
kesejahteraan yang seimbang antara material spritual yang dikenal dengan
istilah Tri Hita Karana (Geriya, 1993:93). Atas dasar konsep tersebut muncul kreativitasnya
di bidang kesenian sebagai pendukung upacara seperti seni ukir diwujudkan dalam
membuat patung-patung sebagai sesembahan, seni suara yang diwujudkan dalam
tembang-tembang yang disebut dengan kekawin, seni tabuh sebagai pengiring
upacara, seni pertunjukan dengan dipentaskannya Wayang Gedog sebagai pengiring
upacara dan berbagai macam perlengkapan upacara sebagai alat persembahan.
Nilai estetika atau
keindahan merupakan perwujudan dari cita, rasa, dan karsa manusia, sehingga
tidak dapat dipisahkan dari kehidupannya. Bagi masyarakat Bali nilai estetika
yang dimilikinya dituangkan pada aktivitas untuk memuja Tuhan, karena disadaria
bahwa segala sesuatu yang didapat untuk pendukung hidupnya merupakan karunia
Tuhan dan manusia diberikan kemampuan untuk mengolah unsur-unsur alam yang tersedia,
Penataan banten mulai dari reringgitan, anyam-anyaman, bentuk jajan,
buah-buahan ditata sedemikian rupa untuk dipersembahkan merupakan perwujudan
rasa seni. Selain dari persembahan banten juga dipersembahkan berbagai macam
seni seperti seni tari, Seni tabuh, seni pewayangan dan seni suara.
The Liang Gie,
(1996:43) mengutip pendapat Beardsley yang menyatakan bahwa ada tiga unsur
sifat-sifat yang membuat suatu karya disebut estetis yaitu pertama, Kesatuan
yaitu suatu karya itu tersusun Secara baik atau sempurna bentuknya, kedua, Kerumitan
adalah suatu karya yang rumit dan mengandung perbedaan-perbedaan yang halus,
ketiga, Kesungguhan, adalah suatu karya yang mempunyai kualitas tertentu yang menonjol.
Pementasan Wayang Gedog dalam upacara Bhuta Yadnya dan pembuatan alat-alat
upacaranya jika diruntut dari pembuatannya mengandung ketiga unsur tersebut seperti,
unsur Kesatuan, pembuatan banten yang ditata sedemikian rupa untuk dipersembahkan
merupakan satu kesatuan antara berbagai macam jenis bahan seperti daun-daunan,
buah-buahan, dan berbagai jajan yang ditata dengan rapi, sehingga terbentuk,
dan tersusun secara sempurna. Kerumitan, membuat seperangkat sarana upacaranya
merupakan suatu karya yang sangat rumit dan merangkai sampai penataannya
sehingga selesai dengan sempurna. Kesungguhan, suatu yang menonjol dalam
pelaksanaan upacara Bhuta Yadnya dan alat-alat upacaranya adalah kerapian dan keunikan
penataan bahan-bahan sesaji, sehingga menjadi satu kesatuan bentuk yang khasa.
Setiap orang mempunyai
rasa keindahan terhadap sesuatu yang dilihatnya, Alam dengan aneka ragam isinya
mempunyai nilai keindahan tergantung pada cara manusia memandangnya dan
tergantung pada budaya yang merupakan hasil cipta, rasa dan karsa suatu
masyarakat.
Rasa seni yang
dimiliki oleh masyarakat Bali dituangkan dalam berbagai bentuk seni sebagai
sesembahan dan alat-alat upacara sebagai persembahan untuk mewujudkan rasa
baktinya kepada Tuhan (Raka, 1996:104).
Masyarakat Bali dalam
menuangkan rasa bakti kepada Tuhan tidak akan puas hanya dengan sembahyang,
tanpa ada wujud baktinya untuk mengungkapkan semua perasaannya (wawancara
tanggal 8 Mei 2001). Segala perasaan baktinya diwujudkan dalam bentuk banten
(sesaji) yang bahannya berasal dari alam, sebagai wujud sesembahannya, sehingga
perasaan dan pikiran yang abstrak dapat dikonkritkan. Aliran naturalisme
berpendapat bahwa watak etis dan estetis manusia berakar dari fenomena alam
sehingga manusia dapat hidup Secara koperatif dan bahagia (Tim Penulis
Rosda,1995:219-220).
Pelaksanaan berbagai
macam upacara merupaka perwujudan rasa seni, sehingga setiap aktivitas
keagamaan menghasilkan suatu seni tersendiri yang bertujuan untuk menghibur
sesembahnya agar memberikan keselamatan baik lahir mapun bathin. Seni dari segi
mitologi diciptakan oleh Dewa Brahma yang pada suatu saat sedang menciptakan patung-pagatung
wanita terbuat dari tanah liat. Karena rasa kagumnya terhadap ciptaannya, akhirnya
patung itu dihidupkan menjadi Bidadari. Pada suatu hari dimana matahari baru muncul
dari upuk timur para bidadari beterbangan di atas laut sambil menari-nari sehingga
menambah kekaguman Dewa Brahma yang kemudian menciptakan berbagai macam
kesenian untuk hiburan di sorga. Para raja yang ada di dunia mengetahui hal itu
dengan bathinnya kemudian menciptakan juga berbagai macam kesenian sebagai persembahan
Sujud baktinya kepada Tuhan (Pandji, 1971:2). Mitologi ini menjelaskan bahwa
setiap kegiatan memuja Tuhan untuk mendapatkan keselamatan baik lahir mapun bathin
diwujudkan dengan seni.
Seni dan agama khususnya di Bali tidak dapat
dipisahkan seperti senipewayangan yang bersumber dari ajaran agama Hindu
merupakan tradisi yang dipertahankan sebagai pelengkap dalam suatu upacara atas
dasar kepercayaan yangmendalam yang beraspirasikan rasa keagamaan. Pertunjukan
wayang Sapuleger di satu sisi sebagai curahan rasa seni, dan disisi lain untuk
memenuhi rasa baktinya yang méndalam demi keselamatan umat manusia itu sendiri.
Pelaksanaan
upacara-upacara dengan dipentaskannya Wayang Sapuleger tidak seperti yang
disebutkan oleh aliran utilitarianisme, karena dalam melaksanakan upacara tersebut
masyarakat Bali tidak menghitung-hitung kesusahan baik material maupun fisik dan
mental dalam melaksanakan sujud baktinya kepada Tuhan. Kebahagiaan yang ingin dicapai
dalam melaksanakan upcara Bhuta Yadnya adalah kebahagiaan spiritual yang bersifat
batiniah dikenal dengan islilah eudamonisme yaitu kebahagiaan batin merupakan tujuan
utama manusia.
Nilai etis dari segi
upacara lebih mengarah pada nilai eudamonisme karena upacara yang dilaksanakan
lebih menekankan kepuasan batin dari pada kepuasan lahir sedangkan nilai etis
dalam pementasan Wayang Sapuleger lebih bersifat ketaatan terhadap Orang tua
dalam menanamkan sifat kesucian dan ketakutan terhadap hokum alam. Panugrahan
yang muncul dari Batara Kala kepada si dalang mendorong pikirannya untuk selalu
waspada dan taat pada putaran hukum alam atau hukum waktu (Kala).
Upacara-upacara di
Bali di samping bertujuan mengadakan keselarasan hubungan dengan Tuhan juga
bertujuan untuk mengadakan keselarasan hubungan dengan alam, seperti yang
disebutkan dalam Lontar Puja Gebogan berupa mantra (doa) pada Saat melakukan
upacara Macaru (upacara yang dilaksanakan untuk keseimbangan alam semesta) :
Pakulun paduka
Bhatara, sunggana mrtabhumi ningulun, luwaraken sarwamarana ring jagal, nugraha
sarwa jagat. Paripurna sarwa tinandurpahalabungkah, pahalaganlung, anandhihaken
tahun, wiryaning sarwa tumuruh ring jagat. Om, siddhirastu ya namah (Lonlar
Puja Gebogan:5).
Terjemahan:
Ya Tuhan, anugrahilah
hamba sumber hidup, enyahkanlah segala penyakit yang mengganggu dunia.
Anugrahkanlah segala yang ada di dunia, sempurnakanlah hidup segala yang
ditanam: buah-buahan, padi, semoga atas rahmat-Mu segala yang tumbuh di dunia
hidup subur. Semoga berhasil atas berkat-Mu.
Puja mantra (doa) di
atas menunjukan betapa pentingnya pelestarian terhadap alam bagi kelangsungan
hidup manusia di bidang estetis, yang dalam hal ini masyarakat Bali menggunakan
upacara ngruwat (nglukat=anyupat) sebagai media untuk melestarikannya.
Nilai estetik dalam
hal ini lebih ditekankan pada pembuatan alat-alat upacara Caru Balik Sumpah
sebagai persembahan yang bertujuan mengadakan keselarasan hubungan dengan alam.
Rasa estetis
masyarakat Bali Iebih banyak digunakan untuk memenuhi rasabaktinya kepada Tuhan,
yang diwujudkan dalam membuat alat-alat upacara, patung-patung, dan segala
bentuk seni sebagai curahan rasa baktinya yang mendalam kepada sesembahannya.
4.3.6 Nilai Ritual
Pementasan Wayang Sapuleger
Kepercayaan masyarakat
yang bersifat feticisme, animisme, dan dinamisme merupakan warisan budaya dari
kepercayaan nenek moyang nusantara. Kepercayaan seperti ini masih dimiliki oleh
masyarakat Bali yang diwujudkan dalam membuatkan upacara segala sesuatu sebagai
pendukung hidup seperti upacara terhadap buku-buku, kendaraan, tumbu-tumbuhan,
uang, dan berbagai macam alat yang mampu menunjang hidupnya.
Kebudayaan Bali telah
tumbuh dan berkembang melalui suatu perjalanan sejarah yang cukup panjang,
melewati beberapa zaman dari zaman prasejarah berlanjut sampai dengan
tercapainya integrasi dalam kerangka sistem kebudayaan nasional dan
zamanmodern. Secara khusus, fenomena yang mempunyai arti sangat mendalam bagi
eksistensi dan perkembangan lanjut kebudayaan bali adalah terjalinnya
kebudayaan Bali dengan agama Hindu sejak permulaan tarikh masehi yang kemudian
menumbuhkan vitalitas dan kreativitas budaya di kalangan masyarakat Bali.
Struktur kebudayaan
dari sudut pandang makro, kekudayaan Bali merupakan bagian dari kebudayaan
Indonesia. Secara mikro, kebudayaan Bali terdiri dari berbagai pariasi, namun
ragam pariasi itu tetap merupakan satu kesatuan budaya yang dikokohkan oleh
adanya kesatuan bahasa dan agama. Secara esensial struktur kebudayaan Bali dibangun
oleh konfigurasi budaya ekspresif (dominannya nilai solidaritas, estetis dan religius).
Kebudayaan Bali adalah suatu kebudayaan yang hidup, dihayati dan dikembangkm
karena berfungsi sangat mendasar bagi pemenuhan kebutuhan orang Bali dalam
mendukung eksistensinya sebagai manusia sosial, estetis, ekonomis, adatif, dan religius.
Nilai religius dalam
kehidupan manusia dapat dilihat dari segi : (a) Pemujaan yaitu suatu kegiatan
kepercayaan menyembah Tuhan atau Dewa. (b) Pengukuhan adalah disahkannya suatu
aktivitas dalam suatu masyarakat religius. (c) Persaudaraan yaitu adanya adanya
hubungan rasa persaudaraan diantara sesama masyarakat religius. (d) Kepastian
adalah mempercayai bahwa segala yang ada di dunia ini diciptakan dan diatur oleh
Tuhan. (e) Harapan yaitu adanya suatu perasaan secara optimis bahwa dalam melakukan
kegiatan keagamaan akan mendapat pahala dari yang di puja (Butler, 1951:33).
Masyarakat Bali jika ditinjau dari pendapat di atas menampakan aktivitasnya di bidang
religius seperti penyembahan terhadap Dewa merupakan perwujudan tindakan pemujaan,
segala aktivitas masyarakat Bali dikukuhkan melalui upacara dalam komunitas masyarakat
yang religius, dalam melaksanakan upacara Bhuta Yadnya tidak lepas dari ikatan
persaudaraan, agar upacara dapat diselenggarakan dengan baik, pelaksanaan upacara
Bhuta Yadnya merupakan perwujudan rasa bakti yang mendalam terhadap Tuhannya,
dan tujuan yang ingin dicapai oleh masyarakat bali dalam melaksanakan upcara
Bhuta Yadnya adalah tercapainya keselarasan hubungan antara manusia dengan manusia,
manusia dengan lingkungan hidupnya dan manusia dengan Tuhan.
Pentingnya relegi
dalam suatu masyarakat sangat terkait dengan tingkah laku, moral dalam hubungan
interaksi masyarakat itu sendiri. Kehadiran relegi dalam masyarakat Bali akibat
ketaatan dan pengabdian yang besar terhadap ajaran agama yang dianutnya. Peter
Salim dalam The Contemporary English Indonesian Dictionary mendefinisikan
religius adalah kesalehan, ketaatan pada agama dan pengabdian yang besar
terhadap agama (Sali Peter, 1991 :1620-1621). Religius timbul dari sifat-sifat
alami manusia yang diekspresikan dalam wujud tingkah laku ritual dan disiplin
moral yang berdampak terhadap pengendalian egoisme.
Masyarakat Bali
melaksanakan upacara Manusai yadnya dalam hal ini melakukan ruwatan merupakan
perwujudan rasa baktinya dalam menjalankan ajaran agama yang dianutnya
menunjukan perilaku sifat religius. Hal ini tercermin dalam, upacara pemelaspasan
terhadap segala sesuatu yang akan digunakan sebagai pemujaan sebelum dilangsungkan
upacara persembahan. Upacara pemelaspasan bertujuan untuk melekatkan nilai
religius magis pada perangkat sarana upacara sebelum dipersembahkan, Sarana dan
prasarana upacara setelah dibuatkan upacara pemelaspas, bukan lagi dianggap
sebagai benda biasa seperti benda-benda lainnya, melainkan sudah mengandung
nilai religious magis yang dianggap sebagai benda suci untuk sarana memohon
keselamatan dalam menjalankan keserasian hidup.
Manusia memiliki
kemampuan untuk mencapai kebahagiaan atas dasar kekuatan manusiawinya sendiri
secara terbatas. Menyadari keterbatasannya tersebut, maka manusia menjalankan
usaha religius dengan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan. Tampaklah
disini bahwa akhirnya manusia menyerahkan dirinya pada sesuatu yang mutlak dan
yang berkuasa atas dirinya. Hal ini menunjukan bahwa manusia adalah mahluk
religius, mahluk yang ingin mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam kitab Chandogia
upanisad yang merupakan filsafat ketuhanan menjelaskan tentang hubungan Brahman
(Tuhan) dengan Atman (jiwa manusia), menyebutkan dengan istilah Sarwa idam khalu
Brahman yang artinya segala yang ada ini tidak lain adalah Brahman (Tuhan)
(Sadia, 1982;14). Keyakinan terhadap adanya Tuhan inilah yang mendorong manusia
untuk melaksanakan hal-hal yang religius dalam mencapai kestabilan jiwanya, yang
dalam hal ini masyarakat Bali mulaksanakan Panca Yadnya sebagai wujud nyatanya.
Tetapi dalam penelitian ini Lanya membahas Manusa Yadnya (upacara ngruwat atau
nyapu leger).
Wayang jika ditelusuri
dari sejarahnya yang sangat panjang itu terungkap pula bahwa kelahiran Wayang
kulit bermula dari upacara pemujaan kepada leluhur. Menurut Sri Muljono dalam
bukunya, Wayang: Asal-usul, Filsafat dan Masa Depannya, menyebutkan bahwa
teater Wayang semula merupakan upacara yang berhubungan dengan kepercayaan
untuk memuja “Hyang”. Upacara ini dilaksanakan oleh seorang medium (yang
kemudian disebut shaman) atau dilaksanakan sendiri oleh kepala keluarga. Dalam
kurun waktu berikutnya pekerjaan ini dilaksanakan oleh seorang yang memiliki keahlian
khusus yang kini dikenal dengan sebutan “Dalang”. Upacara itu dimaksudkan untuk
memanggil atau berhubungan dengan roh nenek moyang untuk diminta pertolongan
dan restunya apabila dalam keluarga itu akan dimulai atau telah selesai menunaikan
suatu tugas (Rota, 1992:2).
Dalam perkembangannya
yang terakhir, lahirlah berbagai jenis pertunjukanwayang kulit di Bali dari
yang sakral sampai yang jenis sekuler. Menurut seorang pakar sastra daerah
(Bali), yakni Wayan Simpen, AB., jenis pertunjukan wayang kulit Bali dapat
dikelompokan berdasarkan fungsinya masing-masing sebagai berikut : (a) Wayang Sapuleger;
(b) wayang Lemah; (c) wayang Sudamala; dan (d) wayang Biasa atau hiburan (Listibya
Daerah Bali, 1974:4). Masing-masing dari keempat kelompok ini memiliki unsur
ritus yang tidak persis satu sama lainnya. Hal ini berkaitan dengan fungsinya masing-masing.
Wayang Sapuleger
(Samirana) seperti yang telah di singgung di atas adalah pertunjukan wayang
kulit Parwa yang bersifat sakral untuk upacara manusa yadnya. Pertunjukan ini
dipentaskan dalam upacara manusa yadnya. Pertunjukan ini diperuntukan bagi anak
yang lahir dalam wuku (minggu) Wayang (yaitu minggu ke 27 menurut kalender Bali
yang terdiri dari 210 hari) terutama sekali yang lahir persis pada hari Sabtu Kliwon
Wuku Wayang (Tumpek Wayang). Tujuannya adalah untuk melenyapkan atau mencegah
mala petaka yang mungkin akan menimpa anak bersangkutan dari pengaruh buruk
(kecemaran) wuku wayang. Tradisi ini masih begitu kuat berlaku bagi keluarga- keluarga
Hindu di Bali, karena mereka begitu percaya dengan apa yang termuat dalam lontar
Sapu-Leger.
Menurut isi lontar
Sapu-Leger, Dewa Siwa memberi ijin kepada Sang Betara Kala untuk memangsa
anak-anak yang lahir dalam minggu (Wuku) Wayang (etah, 1974;7). Wayang Sapu
Leger hanya boleh dipergelarkan oleh seorang dalang yang telah disucikan dan
sudah memahami isi lontar Dharma Pewayangan di samping lontar Sapu-Leger maupun
mantram sakralisasi diri dan sesajen-sesajen serta menguasai beberapa Dewastawa
yang ada hubungannya pembuatan air-suci (pangruatan).
Dalam tugasnya ini dalang
bersangkutan bergelar Ki Mangku Dalang atau Sang Empu Leger. Melalui
pergelarannya Ki Mangku Dalang mengucapkan puja mantram sakralisasi diri,
mempersembahkan sesajen dan memanjatkan Dewastawanya untuk mendapatkan restu
Dewata, terutama dari Dewa Siwa dalam pembuatan air suci pangruatan bagi orang
yang diupacarai karena lahir pada wuku wayang, agar ia terhindar dari gangguan
(buruan) Betara Kala (Listibiya Daerah Bali, 1974:7).
Menurut dalang I Made
Sija, dalam melaksanakan wayang Sapu-Leger, setelah selesai pementasan,
diambillah tiga buah wayang (bonekanya) yaitu Sanghyang tunggal, Sanghyang Siwa
dan Malen (twalen) lalu dihaturkan segala sesajen berkaitan dengan upacara
Sapu-Leger itu dengan mantram-mantram tertentu. Setelah selesai segala upacaranya,
ketiga tangkai wayang tadi dicelupkan ke dalam lampu (blencong) untuk memperoleh
minyaknya yang kemudian dicampur dengan air suci (sukla) guna diberikan kepada
orang yang sedang diupacarai itu (Sika, 1986:11).
Dari uraian
masing-masing jenis wayang kulit yang telah dijelaskan di atas, nampak jelas
bahwa setiap jenis pertunjukan wayang kulit tersebut selalu disertai dengan suatu
situs keagamaan dalam bentuk sesajen dan matra-mantra pemujaan tertentu. Yang lebih
istimewa lagi adalah bahwa ketiga jenis pertama, yaitu Wayang Sapu-Leger, Wayang
Lemah, Wayang Sudhamala, bukan hanya disertai upacara ritus tetapi bahkan merupakan
bagian penting dari upacara yang dilakukan.
Dengan demikian unsur
ritus keagamaan dalam pertunjukan wayang kulit Bali adalah sangat dominan.
Ditambah lagi dengan adanya bukti autentik tentang dipakainya kata wayang
sebagai nama salah satu wuku Wayang yang merupakan Wuku ke-27 dari 30 Wuku yang
ada. Hal ini jelas menunjukan bahwa Wayang sudah merupakan bagian integral dari
kehidupan keagamaan masyarakat Bali yang beragama Hindu. Untuk lebih jelasnya
aspek upacara dalam pementasan wayang Sapuleger di atas, maka akan dikutipkan
jenis upakara yang dipakai dalam pementasan wayang sapuleger sebagai bagian
dari upacara pengruwatan atau nyapu leger sebagai berikut.
Malih upakaran wayang
sampun tiga luire : Suci asoroh maulam bebekputih, ajuman, canang gantal
madaging jinah kespeha satus jinah bolong.Sesantun gede roh pat, medaging jinah
1132 bidang. Malih ring arepan dalange, sampun cumawis payuk medaging toya
metatakan wanci, tur sampun medaging sekar di samping payuke 11 warna. Puput
upakaran wayang kadi ring arep.
Mangkin sang nunas toya panyapuhleger,
angadengaken sanggar tawang(tuntun) taler mategul antuk benang tukelan medaging
jinah 250 bidang.
Bebantene munggah ring
sanggar tawang: suci asoroh maulam bebekputih, ajuman putih kuning maulam ayam
putih siungan pinanggang.
Malih bebantene ring
arepan kelire, luwire: sorohan babangkit asoroh, nasi barak maulam ayam biying
mapukang-pukang miwah winangun urip sampian antuk don endong. Tatebasan
sungsang sumbel duang tanding; tumpeng abungkul maulam ayam mapanggang 2,
ngapit tumpenge; tendas siape meliatang menek aukud, meliatang tuun aukud,
kacang komak mewadah tamas. Malih tatebasan sapuhleger, tumpeng abungkul
matusuk carang bingin maulam ayam, majaja tabangan biyu galahan. Malih
talebasan tadah kala, nasi polpolan bucu telu metaledan don candung, matatakan
sapul poleng, sirah nasine bucu telu medaging getih bawi, maulam urab barak urab
putih.
Malih tatebasan lara
malaradan, nasi kuning mewadah takir, maulam balung, taluh medadar sami, Sami
dadi adulang.
Malih tatebasan
penulak baya, tatebasan pangenteng baju, tatebasanpengalang ati.
Malih daksine
panebusan baya, medaging beras 8 patan, nyuh 8, taluh 8bungkul, gu.. 8 bungkul,
medaging jinah kutus tali nanggu salus.
Malih buah bancangan,
base gulungan wadah Sok, matanceb busungakatih madaging tuak, arak, berem,
beras. Puput bebanlene penyapuhleger punika.
Demikian jenis upakara
yang digunakan di dalam sebuah upacara ngruwat atau nyapuleger, tentu setiap
saat ada yang menggunakan konsep utama, madia dan nista. Namun Secara umum apa
yang tercantum dalam kutipan di atas, merupakan sajen (banten) yang umumnya
berlaku. Setelah, dikeiahui jenis banten yang digunakan, maka selanjutnya akan
dikutipkan mengenai tata cara pengruwatan atau nyapuleger beserta mantranya
sebagai berikut:
Dalang raris
nginkinang jagi makarya toya panyapuhleger.
Dalang ngawiten
nguncarang aji kembang tur ngambil sekar putih. Yanpaing marep mangidul, astuti
Betara Brahma, kapulang sekare ring payuke.
Dalang ngambil sekar
ireng, yan wage marep utara, astuti Betara Wisnu,kapulang sekare ring payuke.
Dalang ngambil sekar
mancawarna, yan klion ana ring tengah, astutiBetara Siwa, kapulang sekare ring
payuke.
Dalang ngambil sekar
11 warna, mantra: Ong nada ya sama nada ya, sama malakwa dulur aditia,
angruwatane dasamala, sakaluwiraning larawigne sumalaba de nire Sang Hiang
Biksa tuwi, ulun angruwatane dasamala, mala pataka nire sang linukat, ong nada
ya sama nada ya, sama nakagana, angruwatane lara raga nire sang linukat,
sakaluwiring sapata upadrawa, sumalaha de nire Sang Hiang Biksa tuwi. Ulun
angruwatane dasamala kapulang sekare ring payuke.
Dalang nguncarang
mantra agni anglayang: Ong agni anglayang murubsaking wetan, sakalangan
urubire, mijil de nire Batara Iswara, anglukat ujarkadung-kadung kapalisah,
anggadakaen tan ana, angliyok sama-sama tumuwul agni anglayang ulun asalah mala
pata nire jatma manusa kabeh, wastu sidi puning ulun ong Sri ya wenama nama
swaha.
Ong agni anglayang murub saking kidul,
kalangan urubire, mijil de nire Batara Brahma anglukat wong angental,
andura-dura sadu, ngenda wong tan padosa amateni wang tan padosa nuduk,
anumbak, anulup, amaling, ambaak, anumpung, agni anglayang ngonaning ulun,
asolah mala pataka nire jatma manusa kabeh, wastu sidi pujaning ulun, ong sri
ya wenama nama swaha.
Ong agni anglayang
murub saking kulon, sakalangan urubire, mijil denireBatara Mahadewa. wong
angreh rabining rabi, angambah marga larangan,anglayani gurune, anglayani
kadang-warga, anglayani wong atua, anglayaniawiku, agni anglayang ngonanaing
ulun asalah mala patakaning jatma manusakabeh, wastu sidi pujaning ulun, ong
sri ya wenama nama swaha.
Ong agni anglayang
murub saking lor, sakalangin urubire, mijil denireBatara Wisnu, anglukat wong
aneluh amaranjana, angleak, amokpok, anesti,angupas, angracun, agni anglayang
nggonaning ulun asalah mala patakaningjatma manusa kabeh, wastu sidi pujaning
ulun, ong sri ya wenama nama swaha.
Ong agni anglayang
murub saking madia, sakalangan urubire, mijildenire Batara Siwa, anglukat wong
angikik gudig, kores, parang, udug, bujan, rumpuh, ayan, buta, tuli, bisu,
cekehan, bunglon, bengkuk, kepek, sengkok, perot, gondong, borok, satus dosa
lapan malaning jatma agni anglayang nggonaning ulun asalah palakaning jatma
manusa kabeh, wastu sidi pujaning ulun, ong sri ya wenama nama swaha.
Puput agni anglayang,
dalang nguncarang astapungku.
Ong ang aslapungku
dangascarjva Siwamret anglusrana sakwehing metu . uku sungsang carik, katadah Kala,
katitihaning bawa, Batara Siwa
angilangakena sarwa klesa upadrawa, upataning bapa-ibu, geleh-gelehing
sarira tuju telung taranjana, desti prakasa, kalukat wijiling jalma, ring dina
carik, carik sinambar dening carik binaksa dening mrega, pesu carik,
ngengkadadak, tunggak waring, kerang-kerang macen, saluwirning klesa samangka,
kalukat denire Batara Siwa, anglebur moksah saking tan ana, ong sidirastu tat
astu ya namah swaha.
Panangkeb panyapuh
leger.
Ong ang mang ung,
sastra para atmaning wigna suda tastra sukma yanamah.
Mangkin pinih rahina
kaambil kayonan punika katikne kaanyudang ringsuare ping tiga, raris kaancebang
kapayuke. Mantra: Ang ah, raris kayonanpunika kagenahang kapenpen ring kropake.
Malih kaambil acintia,
taler katikne kaanyungang ring suare ping tiga raris kaencebang ring payuke,
mantra: Mang.
Malih kaambil Siwa,
taler katikne kaanyungang ring suare ping tiga raris kaencebang ring payuke,
mantra: Ang.
Malih kaambil tualen,
taler katikne kaanyungang ring suare ping tiga raris kaencebang ring payuke,
mantra: Ung.
Puput mantra
panyapuhleger kadt ring ajeng, samaliha wayange sami sampun mapenpen ring
krapake, tur upakara sampun katurang. Raris i dalang nyimpen wayang, mantra:
Ong ang ung yang, tatua caritam rem sanjiwaya namah.
Dalang nyaruning kelir
antuk peras madaging alam ayam kuku rambut, mantra: Ih buta prasapa, kala
wigraha, nihan sajinire sowang-sowang, ang ang amretaya namah. Raris kaelus
kelir punika.
Mangkin dalang
nabdabang pacang ngalukat ring wang anunas taya
panyapuhleger.
Yan lanang sang kalukat,
mangda matatakan prabot lanang, luwire: lampit wiadin tenggale.
Yan istri matatakan
prabot tunun.
Dalang ngetisen toya,
mantra: Ang ung mang Siwa yogi parama sidiyam,gangga sarayu sarwatiam, amarnama
manda suda ya namah. Puput.
Malih babanlen sane ring
sanggar tawange (tuan) kalur ring Ida BataraSurya wireh Ida maraga saksi
dijagate.
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan _
Berdasarkan hasil
Pembahasan di atas, maka ada beberapa hal yang perlu di garis bawahi yang dapat
ditarik sebagai sebuah simpulan. Adapun hal-hal yang dimaksud adalah sebagai
berikut:
Pertama Seni dan agama
Hindu di Bali khususnya dapat dikatakan seperti mata uang, meskipun memiliki
dua dimensi, namun memiliki kesatuan yang tak dapat dipisahkan satu sama
lainnya. Hal ini bukan saja pada zaman sekarang, namun tradisi pertunjukan
Wayang telah dibuktikan berabad-abad yang lalu baik yang termuat dalam prasasti
maupun tradisi tulis-menulis lainnya. Oleh karena itu pertunjukan wayang kulit di
Bali berkaitan dengan sistem upadaca yang dianut dalam agama Hindu, khususnya
seni pertunjukan wayang yang berakitan dengan siklus hidup manusia Hindu.
Kedua salah satu dari
seni pertunjukan wayang yang sangat kental dengan nilai siklus hidup manusia
yang telah disebutkan di atas adalah wayang Sapuleger. Wayang Sapuleger adalah
berkaitan dengan sistem perhitungan kalender Bali (wewaran), bagaimana sesorang
memaknai hidupnya berdasarkan sistem hari baik dan hari buruk dalam kelahiran
anak manusia. Pantangan dalam kelahiran seperti apa yang disebut di Bali dengan
istilah lekad di Tumpek Wayange sebagai indikasi seseorang perlu melakukan
penyupatan atau upacara ruwatan.
Ketig Di Balik pertunjukan wayang Sapuleger tersebut,
ternyata sarat akan nilai-nilai ajaran agama Hindu yang terkadung di dalamnya,
meskipun bingkainya berdasarkan sebuah mitos. Pengungkapan makna di Balik mitos
inilah diperlukan sebuah analisis untuk mengungkapkan nilai-nilai ajaran agama
Hindu dalam berbagai aspek seperti, nilai simbolik, filsafat, seni atau
estetika, upacara, mitologi, nilai magis dan sebagainya.
Terakhir tentu saja
pengungkapan nilai-nilai ini tidak akan mampu memberikan nilai praktis,
manakala tidak kembali direnungkan di dalam benak kita masing-masing, akan
hakikat dari kekuatan Maha Tunggal yang disimbolkan oleh figur-figur kedewataan
dalam pementasan wayang Sapuleger tersebut.
5.2 Saran-Saran
Sebagai sebuah
infomasi awal maka, langkah selanjutnya adalah upayapenelusuran lebih jauh dan
mendalam mengenai objek peneiitian ini, sehingga memperoleh sebuah jawaban yang
cukup representatif dan berkualitas. Untuk itulah melalui laporan ini juga kami
mengharapkan, agar kelak jika masih tersedia dana dan waktu mudah-mudahan objek
penelitian ini dilanjutkan lebih mendalam. Khusus kepada para peneliti
selanjutnya semoga informasi awal ini memberikan inspiriasi baru, sehingga mampu
menemukan sesuatu yang lebih dan lebih sempurna.